Hutan Sulawesi sangat berharga bagi konservasi keanekaragaman hayati. Dari 127 mamalia yang ada di Sulawesi, sejumlah 62% merupakan endemik, selan itu dari 233 jenis burung, 36% diantaranya juga endemik. Tingginya tingkat endemisme di Sulawesi terjadi karena posisi pulau ini yang diapit oleh lempeng benua Australasia dan Asia. Sulawesi secara unik menampilkan karakteristik biogeografis kedua lempeng benua tersebut melalui kekayaan keanekaragaman hayati, sebagai kontribusi signifikan terhadap posisi Indonesia sebagai kepulauan mega-biodiversiti. Akan tetapi, dibandingkan dengan pulau dengan keanekaragaman hayati tinggi lainnya di Indonesia seperti misalnya Sumatra dan Kalimantan, Sulawesi masih kekurangan informasi akan data dasar keanekaragaman hayatinya.
Pengkajian berskala seluruh pulau terakhir di Sulawesi dilakukan oleh WCS di tahun 2002 (Christy & Lentey, 2002). Kurangnya informasi ini menghalangi kerja konservasi untuk mencapai tujuan nasional peningkatan populasi spesies prioritas hingga 10% dalam lima tahun (MoEF, 2015). Tujuh spesies prioritas Sulawesi adalah:
- Maleo (Macrocephalon Maleo),
- Babirusa (Babyrousa Babirussa),
- Anoa (Bubalus Quarlesi) dan (Bubalus Depressicornis),
- Tarsius (Tarsius Fuscus),
- Sulawesi Black Macaques (Macaca Nigra),
- Dare (Macaca Maura).
Untuk menjawab jurang informasi tersebut, dan meningkatkan performa dari EPASS serta kerja proyek konservasi lainnya, telah disusun sebuah protokol yang menyediakan cara yang sesuai dalam pengukuran populasi spesies prioritas kunci Sulawesi. Protokol survey meliputi metode untuk mengukur populasi mamlia sedang-besar dan maleo. Beberapa pendekatan sampling yang paling sesuai juga dijelaskan didalamnya, diantaranya:
- Survey occupancy berdasarkan tanda tidak langsung untuk menjangkau bentang alam luas;
- Survey capture-recapture menggunakan camera-trap untuk menaksir kelimpahan spesies di area situs prioritas yang lebih kecil; iii) survey menggunakan DNA untuk menaksir kelimpahan bagi spesies yang sulit diidentifikasi secara fisik; dan,
- Penanda Passive Integrated Transponder (PIT) untuk menaksir kelimpahan maleo.
Untuk tiap metode survey, diagambarkan cara pengkoleksian data, manajemen dan persiapan data, analisis data, pelaporan, penyusunan data, dan skema perencanaan kerja yang dibutuhkan. Protokol ini dimaksudkan untuk meyokong peneliti lapang dalam melakukan survey yang baik secara saintifik dengan menggunakan teknik survey yang sesuai.
Mamalia Menengah-Besar
Spesies kunci dalam kategori ini adalah anoa, babirusa, dan monyet hitam jambul. Dataran rendah anoa di Tangkoko ditemukan di kepadatan rendah (0,05 / km2) pada tahun 1996 dan mengalami penurunan 90% dari tahun 1979 (O’Brien & Kinnaird 1996).
Survei yang dilakukan di Tangkoko pada tahun 1999 dan 2001 tidak menemukan bukti keberadaan anoa dan Burton et al. (2005) sehingga disimpulkan satwa liar tersebut secara lokal punah.
Sementara Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan Taman Nasional Lore Lindu adalah dua kawasan konservasi utama untuk anoa. Dilaporkan sejumlah besar anoa di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dari frekuensi tanda-tanda yang ditemukan dan catatan fotografi dari tahun 2000-2001 dan Lore Lindu masih memiliki tanda-tanda kelimpahan anoa di daerah pusat elevasi tinggi (Burton et al., 2005).
Sementara populasi Babirusa (Babyrousa b. Celebensis), seperti anoa, terus mengalami penurunan. Hewan-hewan ini sebelumnya ditemukan di ketiga lokasi demonstrasi EPASS, tetapi tampaknya di Tangkoko telah mengalami kepunahan (Leus et al., 2016).
Kera Hitam jambul dapat ditemukan di Tangkoko, dan baru-baru para peneliti kamera trap mencatat kehadiran mereka di selatan Bogani Nani Wartabone.
Maleo
Ketiga lokasi demonstrasi EPASS seharusnya masih dihuni oleh maleo, tetapi hanya Lore Lindu dan Bogani Nani Wartabone taman nasional masih menunjukkan tanda-tanda keberadaan spesies endemik pulau Sulawesi tersebut. Penelitian terakhir pada tahun 1996 menyatakan bahwa populasi maleo di Tangkoko berada di ambang kepunahan dengan perkiraan tujuh pasang tersisa di cadangan (kepadatan 0,2 Maleo / km2) (O’Brien & Kinnaird 1996).
Bogani Nani Wartabone tercatat memiliki 13 sarang burung endemik sulawesi ini pada tahun 2005, delapan terletak di dalam area taman nasional dan lima di luar (Gorog et al., 2005).
Lore Lindu NP memiliki sembilan daerah bersarang maleo, sebagian besar berada di dekat sungai yang dekat dengan air panas springs (Butchart & Baker, 2000). Lima lokasi sarang masih dalam kondisi baik berdasarkan informasi dari tahun 2000: Pakuli, Hulurawa, Saluki, Mapane dan Taveki. Sementara empat lainnya yang sudah sangat terancam 16 tahun yang lalu karena kemudahan akses: Kamarora, Mangku, Kaya, dan Kare Tambe.
Studi ilmiah yang menyeluruh terkait kelimpahan maleo belum pernah dilakukan. Studi yang pernah ada untuk memperkirakan kelimpahan maleo masih menggunakan metode transek garis (O’Brien & Kinnaird 1996) atau metode yang lebih umum digunakan dari jumlah sarang (Laban, 2007). Proyek EPASS mencoba untuk mengatasi masalah heterogenitas dengan memperkenalkan kerangka capture-recapture (non-spasial) menggunakan tag PIT (Passive Integrated Transponder) untuk menandai maleo. Secara teknis hal ini memungkinkan sebagaimana juga tag PIT sudah banyak digunakan untuk memantau populasi satwa liar sejenis.